Brengsel, Puing Kejayaan Kota Sampit Yang Terus Dihantam Zaman

Brengsel, Puing Kejayaan Kota Sampit Yang Terus Dihantam Zaman

Artikel
Oleh : Ahmad Suhaili, SP

Kota Sampit ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) yang pernah berjaya dengan industri kayunya yang mendunia, kini hanya menyisakan sebuah cerita. Brengsel, begitu warga setempat mengenal kilang penggergajian kayu terbesar yang di Kalimantan.
Kini yang tersisa dari pabrik pengolahan kayu berkualitas tinggi itu hanya berupa cerobong asap tua, sepi menyendiri dan terus tertelan waktu di tepian Sungai Mentaya di kawasan kampung tua, Baamang. Meski Indonesia sudah merdeka pada 17 Agustus 1945 lewat proklamasi yang digaungkan Soekarno-Mohammad Hatta di Jakarta, toh para pemilik modal kulit putih terkhusus berkebangsaan Belanda masih mampu menancapkan pengaruhnya.
Mereka mendirikan sebuah perusahaan besar di bumi Mentaya dengan nama Naamloze Vennootschap (NV) Bruynzeel Dayak Houtbedrijven (BDH), yang populer dengan lidah orang lokal yang juga multietnis disebut Brengsel, atau beberapa sebutan familiar lainnya Brensel, bahkan Brengseng.Ya, sebuah penggergajian dan pengolahan kayu besar, ditopang peralatan tercanggih di eranya. NV BDH juga sebetulnya memiliki hak pengelolaan hutan serupa di belahan dunia lainnya, di Amerika Selatan.

Ahmad Suhaili, SP

Kekuasaan NV BDH dalam mengolah kayu juga mendapat jaminan dari Dewan Dayak Besar, ketika Republik Indonesia Serikat (RIS) masih menganut sistem negara federal. Jadilah, NV BDH meraih hak monopoli konsensi hutan di Sampit, dan menyebar hingga ke pelosok daerah Dayak Besar (kini Kalimantan Tengah). Ada tiga daerah konsensi hutan yang bisa digarap NV BDH yakni di aliran daerah Sungai Mentaya, Seruyan dan Katingan.
Berdiri pada 1948 dengan luas bangunan utama pabrik mencapai 50 x 100 meter di atas lahan yang konon masih milik tokoh terpandang asal Sampit ketika itu, Jungkir bin Sampit. Pabrik yang didesain memiliki bangunan berlantai dua, lantai satu jadi wadah pengolahan kayu tahap akhir, dan lantai kedua difungsikan sebagai pengering kayu olahan tersebut.
Berselang setahun kemudian, NV BDH baru bisa beroperasi ketika kedaulatan Belanda berdasar hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus-29 November 1949 diserahkan kepada Indonesia. Penyerahan kedaulatan ini direalisasikan pada 27 Desember 1949. Sebagai pertanda kedaulatan itu, Wakil Presiden Mohamad Hatta datang ke Kota Sampit untuk membuka operasional perusahaan yang sahamnya dimiliki pemodal Belanda tersebut.
Eksistensi kilang penggergajian kayu ini memang sangat bergantung dengan pasokan kayu berkualitas dari rimba Kalimantan yang kaya raya. Dari sinilah, Kota Sampit pun berkembang menjadi kota industri yang memiliki daya tarik bagi kaum pendatang mengadu nasib ke sana.
Dari tulisan Garry van Klinken (2008) yang dikutip Herry Yogaswara dalam disertasi program doktoralnya di FISIP Universitas Indonesia (UI) berjudul Meneruskan Hidup Setelah Kerusuhan (kajian kerusuhan etnis di Kota Sampit), menyebutkan jika para pemodal Belanda ini menggunakan eks tentara KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger) atau tentara Kerajaan Hindia Belanda yang berasal dari Indonesia Timur, seperti dari Minahasa dan Maluku, atau mereka yang memiliki keturunan dari orang-orang Eropa sebagai pekerja.
Mereka ditempatkan baik sebagai teknisi, hingga satuan pengamanan (satpam). Dari komunitas ini pula muncul kluster-kluster pemukiman yang kelak membagi kawasan Brengsel dalam beberapa zona. Dengan teknisi andal, deru puluhan mesin dan beragam peralatan canggih yang sengaja didatangkan dari Eropa (Belanda) itu menjadikan kilang ini mampu melahap gelondongan kayu-kayu hutan dari tiga DAS di Kalimantan itu.
Kekuatan modal para pengusaha Belanda ini yang ketika itu dikoordinir sang direktur NV BDH Van Deck, terbukti mampu menggoyahkan penguasa Indonesia (terkhusus di Bumi Dayak Besar) yang masih belia, untuk mendapat dana membangun negeri yang baru terlepas dari penjajahan berabad-abad tersebut. Berpola sistem bagi hasil, jadilah NV Bruynzeel Dayak Houtbedrijven alias Brengsel itu menghidupkan denyut nadi kawasan tersebut, bahkan menjelma jadi lokomotif pertumbuhan Kota Sampit.
Lokomotif yang menggambarkan rel besi yang membentang belasan kilometer itu dari kilang menuju pelabuhan yang kini dikenal dengan Jalan Rel di Sampit. Dari situ, armada pengangkut kayu olahan berkualitas itu mengapung di Laut Jawa, hingga ke Pelabuhan Sunda Kelapa digantikan Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia (Jakarta). Dari catatan sejarah, ada dua kapal jumbo bermesin uap dan berbahan bakar batubara yang didatangkan dari Negeri Kincir Angin itu guna mengangkut kayu berkualitas nomor wahid seperti kruing, meranti, jati, bengalan dan agatis.
Dengan lahan yang luas, NV Bruynzeel Dayak Houtbedrijven membangun taman yang indah berhiaskan bunga-bunga, perumahan yang rapi, dan diapit pemukiman kaum pribumi. Kehidupan Brengsel benar-benar telah menyulap kawasan itu menjadi hidup. Beragam fasilitas penunjang dibangun, dari lapangan bola, lapangan tenis, area bola sodok (bilyard), hingga kompleks hiburan berdiri dekat dengan areal kilang penggergajian kayu.
Dulu, Taman Kota Sampit merupakan lapangan sepakbola, yang dibangun Bruynzeel dengan apik. Ada deretan kursi penonton dari kayu berkualitas, mengkilap karena berlapis vernis.
Masih dalam kawasan itu, di samping lapangan sepakbola berdiri sebuah kompleks hiburan terdiri dari rumah makan, bar-bar bagi pekerja Belanda menghabiskan waktu libur, hingga arena permainan khas kulit putih. Alunan musik berirama jazz, ballad dan blues mengalun bergantian membelah keheningan malam di tepian Sungai Mentaya.
Gaya hidup ala Barat benar-benar mewarnai kehidupan Kota Sampit. Bahkan, tata kota Sampit sempat mengadopsi kota-kota sentuhan arsitek Belanda, yang bercirikan pusat kota diapit gereja dan pasar malam. Namun, kehidupan glamor ala Brengsel, tetap dibarengi dengan kehidupan bernuansa religius. Gereja Katolik Santo Joan Don Bosco didirikan untuk memberi pelayanan bagi pekerja Brengsel, terutama yang beragama katolik dari kalangan Eropa dan warga Dayak, serta pekerja asal Indonesia Timur.
Pembiayaan pelayanan kepada umat ini sepenuhnya ditanggung NV BDH, termasuk mendatangkan para pastor dari Banjarmasin. Kemudian, bagi warga pribumi juga disediakan fasilitas serupa. Begitupula bagi penganut Kristen Protestan juga mendapat tempat dengan gereja yang dibangun dalam koridor kawasan Brengsel. Era kejayaan Brengsel memang telah mengubah tata kota Sampit. Daya tariknya telah menyilaukan mata para migran dari berbagai daerah di Indonesia datang ke ibukota Kotawaringin Timur ini.
Dengan sistem produksi yang diterapkan Brengsel, melahirkan berbagai kelas sosial. Kelas sosial employee merupakan kelas sosial dengan strata paling atas, yang saat itu ditempati orang-orang Belanda dalam posisi administrastur, beberapa tentara eks KNIL serta dari etnis Dayak. Kemudian, kelas sosial kedua adalah para buruh yang bekerja mulai dari menarik kayu dari wilayah tebangan hingga ke log pond.
Dengan kapal Neel Bruynzeel dan satunya lagi bernama Leet Bruynzeel, kayu-kayu belantara hutan Kalimantan bisa menembus pasar kayu di India atau China. Selama 13 tahun lebih, sejak berdiri pada 1948 hingga 1961, dari mesin Brengsel itu pula tercipta kehidupan di kawasan itu. Betapa tidak, tercatat sedikitnya ada 2.000 pekerja yang menggantungkan nasib dari deru debu mesin-mesin kayu Brengsel. Bicara kehidupan bangsa kulit putih (Belanda) yang mapan dan membuat perkampungan tersendiri, Kampung Holland di sekitar kawasan Jalan Gatot Subroto hingga Pesawahan Ujung, serta kawasan elit di Jalan S Parman di pusat kota Sampit.
Dari logpond kayu-kayu dialirkan melalui sungai ke arah pabrik pengolahan kayu di Kota Sampit. Kayu-kayu tersebut kemudian dikumpulkan lagi di log pond yang memiliki kanal dari pabrik ke sungai, yang kini dikenal masyarakat Sampit dengan sebutan Sungai Pamuatan. Tak hanya itu, untuk membawa kayu gelondongan juga digunakan lori, dikenal masyarakat setempat dengan kereta api. Ini dikarenakan, cendawan asap hitam dari lokomotif berbahan bakar batubara itu melayang di udara Kota Sampit, bergerak dan membentang dari Brengsel hingga Kilometer 7 (kini Pasir Putih).
Sementara itu, kehidupan para buruh Brengsel yang multi etnis kebanyakan berasal dari suku Banjar, Jawa dan Madura termasuk di dalamnya eks tentara KNIL, telah menghidupkan Sampit dengan berbagai perkampungan. Ya, sebuah perkampungan yang heterogen maupun didominasi satu etnis tertentu. Orang-orang Madura kemudian menyebar dan membentuk perkampungan di sekitar kawasan Sawahan dan Jalan S Parman, serta Baamang.
Selanjutnya, beberapa orang Bugis memilih zonanya sendiri di perkampungan yang terletak di kawasan jalan antara Sampit dan Samuda. Kemudian, muncul pula kampung-kampung etnisitas seperti Kampung Jawa, Kampung Banjar, dan Kampung Arab. Sementara, orang-orang Tionghoa memilih mengelompok dalam pusarannya.
Betapa tidak, dengan sistem kerja yang telah terpola di Brengsel, telah menyulap beberapa kawasan berdasar etnis. Para pekerja dari etnis Dayak yang memilih hidup dengan kawasan hutan sebagai penebang kayu. Sedangkan, para buruh kasar seperti pendorong lori, pengangkut kayu dan lainnya lebih banyak didominasi warga Madura. Dari sini, menciptakan peluang bagi pemenuhan kebutuhan para buruh Brengsel. Sektor perdagangan sembako pun dimainkan warga Banjar, walau sebenarnya sistem distribusi dikuasai para pedagang Tionghoa yang membuka toko-toko besar
Kehidupan Brengsel yang begitu pluralisme, ternyata terhenti. Dinamika politik yang terjadi di Kota Sampit, telah membuat keberadaan NV BDH menjadi isu terhangat. Massa yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi pendorong gerakan anti terhadap orang-orang asing, terkhusus perusahaan yang dimiliki asing. Apalagi, semangat anti asing dan ekonomi nasionalis begitu membahana, serta dipicu perebutan Irian Barat antara Indonesia dengan Belanda turut mempercepat penutupan perusahaan asing seperti Bruynzeel.
Ya, tekanan politik terutama dari para politisi PKI yang anti dengan sistem kapitalisme, melahirkan Undang-Undang RI Nomor 86 Tahun 1958 yang mengatur nasionalisasi perusahaan milik Belanda dalam wilayah Republik Indonesia membuat Brengsel pun harus beralih kepemilikan.
Lewat UU yang diteken Presiden Soekarno pada 27 Desember 1958, dan diundangkan pada 31 Desember 1958 oleh Menteri Kehakiman Gustaaf A Maengkom dan Perdana Menteri Djuanda GA, perlahan tapi pasti, banyak perusahaan yang dikuasai pengusaha Belanda beralih tangan jadi milik pemerintah. Ya, hal itu juga dialami NV Bruynzeel Dayak Houtbedrijven pada 1955 diubah namanya jadi PT Sampit Dayak, dan kemudian pada 1962 dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1974 masuk dalam bagian Perusahaan Negera (PN) Perhutani Kalimantan. Yang kemudian hari, dipecah lagi jadi tiga bagian perusahaan, PT Inhutani I (Kaltim), PT Inhutani II (Kalsel) dan PT Inhutani III (Kalteng dan Kalbar).
Di era Soekarno, dengan gaya politik yang terpimpin memang resistensi terhadap bangsa kulit begitu tinggi, sehingga terpaksa para pemodal dan pekerja Brengsel harus pulang ke tanah leluhurnya di Eropa. Setelah 21 tahun berkuasa, rezim Orde Lama yang dikomando Soekarno harus berakhir. Transisi ke Orde Baru yang dimulai dengan dilantiknya Presiden Soeharto sebagai patronnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 27 Maret 1968.
Kehidupan Brengsel yang begitu pluralisme, ternyata terhenti. Dinamika politik yang terjadi di Kota Sampit, telah membuat keberadaan NV BDH menjadi isu terhangat. Massa yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi pendorong gerakan anti terhadap orang-orang asing, terkhusus perusahaan yang dimiliki asing. Apalagi, semangat anti asing dan ekonomi nasionalis begitu membahana, serta dipicu perebutan Irian Barat antara Indonesia dengan Belanda turut mempercepat penutupan perusahaan asing seperti Bruynzeel.
Walaupun setahun sebelumnya, dengan terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 12 Maret 1967, Soeharto sempat ditunjuk jadi Penjabat Presiden RI, menggantikan Soekarno yang dituduh terlibat atau membiarkan terjadinya pemberontakan Gerakan 30 September 1965 PKI. Di era Orde Baru, penguasaan perdagangan pun beralih dari kulit putih ke kulit kuning (Tionghoa atau China). Meski di bawah tekanan, para pengusaha China tetap bisa eksis sembari menyaru menjadi warga pribumi. Seiring itu pula, pamor Brengsel pun memudar, pasca ditangani PN Perhutani (Inhutani III). Kebangkitan industri kayu yang dikuasai pemilik modal etnis Tionghoa itu terbukti merajai pasar kayu di Kalimantan, khususnya Sampit.
Meski minoritas, toh warga Tionghoa justru menjadi “penguasa” dunia perdagangan di Kota Sampit. Tak hanya tauke yang andal dalam bisnis perkayuan, sektor perdagangan pun dikuasai mereka. Apalagi, pengusaha kulit kuning itu terbukti merajai kayu Kalimantan yang dibuktikan pada 1950, berdiri kilang penggergajian besar sekelas Brengsel milik Lie Sioe Wing dengan Firma Gani di Tenggarong, Ban Hong di Long Iram dan Tan Tjong Tju di Samarinda, Kaltim. Jadilah, kayu tetap menjadi roda penghidup kota Sampit. Bahkan, menarik minat warga luar Sampit berdatangan, seperti dari suku Banjar dan Madura.

Dari dunia perdagangan itu, kehidupan Kota Sampit yang ditinggal Brengsel pun kembali berdetak. Perputaran uang juga memancing para pengusaha Tionghoa untuk membangun pusat hiburan, seperti pada tahun 1963, berdiri dua bioskop yakni Sentosa di Jalan Sutoyo S (kini jadi tempat Kusuka Swalayan) dan Sanghai di Jalan Jenderal A Yani (bekas gedung pajak yang terbakar). Dua bioskop ini bersaing dengan menayangkan film-film asal ibukota dan Malaysia. Kelak, pada 1980, Theater Mentaya pun berdiri menggeser keberadaan dua bioskop yang familiar di eranya itu.
Kayu tetaplah berjaya di Sampit. Apalagi, nun di seberang, tepatnya di Tanjung Katung (kini dikenal sebagai Tanjung Mas) di Kecamatan Seranau, pada 1975 berdiri pabrik kayu milik Njoto Soenarto, warga kelahiran Singapura berpaspor Indonesia bernama PT Meranti Mustika Plywood. Di atas lahan bekas sawmill atau pabrik pembelah kayu, PT Meranti mendapat hak pengelolaan hutan (HPH) seluas 46.879 hektare.
Puluhan tahun, perusahaan menjadi penyumbang bagi kehidupan Kota Sampit, dengan beragam bangunan yang tersisa. Dan, puncaknya ketika tragedi kemanusian pada Februari 2001 menimpa ibukota Kotawaringin Timur ini, banyak para pekerja terutama etnis Madura yang terpaksa mengungsi, meninggalkan tanah yang telah menghidupi mereka. Walhasil, Meranti pun akhirnya gulung tikar pada 2003, karena perusahaan ini dinyatakan pailit.
Apa yang kini tersisa dari puing kejayaan kayu Sampit? Ya, beragam bangunan memang masih bisa kita saksikan, seperti melambangkan era kejayaan Brengsel Belanda yang tersisa. Tunjuk saja, Gereja Katolik Santo Joan Don Bosco. Gereja dengan paroki pertama Pastor Leonardus Bernsen ini didirikan pada 5 Mei 1952, tetap lestari di tengah deru maju bangunan modern di Kota Sampit.
Kemudian, kuburan Kristen (kerkkoff) yang telah mengabadikan jasad-jasad warga Dayak yang beragama nasrani, namun juga terdapat orang-orang yang dikebumikan di tanah Mentaya. Kemudian, situs sejarah yang terdapat di kampung bahari, Baamang dengan ikonnya makam Jungkir Bin Sampit. Dan, terlihat tentu saja adalah cerobong asap eks Brengsel yang teronggok diam membisu di tengah lebatnya rerumputan yang terus dihantam zaman. Inilah bukti puing kejayaan Kota Sampit.

Kuala Kapuas